Selasa, 07 Oktober 2014

Dilema Warga Perbatasan, Menyambung Hidup atau Pertahankan Patriotisme

Kalimantan Timur merupakan salah satu wilayah Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara Malaysia. Pulau yang memiliki batas darat dengan wilayah Negeri jiran tersebut adalah Pulau Nunukan dan Pulau Sebatik.

Khusus di Pulau Sebatik, ada satu cerita menarik yang perlu diketahui masyarakat Indonesia. Tak lain adalah mengenai bagaimana warga Negara Indonesia perbatasan bertahan hidup dengan dilema suplai kebutuhan yang sangat sulit serta mempertahankan nasionalisme ditengah keadaan yang serba susah.

Rita Yacob (40) merupakan perempuan asli Pulau Nunukan yang telah 13 tahun menetap di Pulau Sebatik. Ibu satu anak ini mengaku senang tinggal di pulau tersebut walau dengan berbagai kendala.

"Untuk makanan dan kebutuhan pokok, kami di pulau ini mendapatkannya dari pedagang di daerah Sungai Nyamuk yang suplainya dari Tawau (salah satu daerah negara bagian Sabah, Malaysia)," ujarnya kepada detikcom saat menyambangi Desa Pancang, Jalan Bedurahim, Pulau Sebatik, Kaltim, Selasa (8/10/2013).

Dia mengakui, untuk mendapatkan suplai dari daerah terdekat seperti Nunukan dan Tarakan membutuhkan waktu yang sangat lama. Belum ditambah dengan harga yang mahal, sehingga masyarakat Sebatik menggantungkan hidup dengan menyuplai kebutuhan hidup dari daerah Tawau, Malaysia.

"Habis bagaimana, menunggu dari Nunukan lama dan mahal. Di Tawau semua ada, dan harganya juga lebih murah. Misalkan minyak goreng di Tawau Rp 10 ribu, di Nunukan lebih mahal," tuturnya polos.

Wanita yang bekerja di bagian penyapuan sampah ini mengatakan, warga Sebatik memakai 2 mata uang untuk bertransaksi, rupiah dan ringgit. Walaupun saat ini 1 Ringgit Malaysia (RM) telah berada di kisaran Rp 3.500, masyarakat tetap lebih senang memenuhi kebutuhan hidup dari negeri jiran.

Seringnya sih pakai rupiah. Paling kalau kesana (Tawau) saja saya pakai Ringgit," kata Rita.

Dengan polos dia menuturkan, selain dapat memenuhi kebutuhan sandang pangan mereka, negara tetangga rupanya dapat memberikan pelayanan lebih kepada warga perbatasan ini dalam hal pelayanan kesehatan.

"Waktu itu saya sempat mengalami pendarahan. Puskesmas disini tidak dapat menangani, akhirnya saya lari ke Tawau. Disana saya berobat langsung ditangani, misalnya bidan dan dokternya tidak pernah putus menjaga kita, tidak seperti disini," jelas wanita berambut sebahu tersebut.

Dengan berbekal Kartu Lintas Batas, Rita mengaku mendapatkan banyak kemudahan dan kesenangan bagi keluarganya. Tak heran, dia sekeluarga sering berkunjung ke Tawau untuk membeli bahan pokok atau sekedar untuk mengajak anaknya berjalan-jalan.

"Kalau kesana kami pakai kartu merah (Kartu Lintas Batas). Paling kesana untuk ajak anak jalan-jalan disana, makan KFC, disini dan Nunukan tak ada, " ujarnya sambil tertawa.

Beruntung, suplai air dan listrik saat ini sudah mulai mengalami perbaikan. Walaupun hingga saat ini Rita masih harus membeli air bersih dengan harga Rp 60 ribu per 1000 liter. "Listrik sekarang juga sudah pakai pulsa. Kalau dulu mati terus, udah capek," sambungnya.

Walaupun banyak mendapat kemudahan dari negeri tetangga, belum terbersit di benaknya untuk berpindah kewarganegaraan. Karena menurutnya, Indonesia masih merupakan tanah air yang sangat dicintai.

"Saya lahir sebagai warga negara Indonesia. Bagaimanapun juga saya tetap cinta Indonesia dan tak akan menggadaikan bangsa saya ke negara lain," tutupnya sambil tersenyum.