Kamis, 07 Agustus 2014

Taman Nasional Ujung Kulon, Habitat Alami Badak Jawa yang Terancam Punah

Taman Nasional Ujung Kulon, Habitat Alami Badak Jawa yang Terancam Punah

Taman Nasional Ujung Kulon merupakan cagar alam yang menyimpan banyak keanekaragaman flora dan fauna. Terletak di kawasan paling barat pulau Jawa, Ujung Kulon juga dikenal sebagai habitat alami badak jawa yang saat ini dikenal sebagai satu dari 10 satwa yang sedang diambang kepunahan.

Taman Nasional Ujung Kulon merupakan sebuah kawasan hutan lindung dengan luas 122.956 hektar yang termasuk ke dalam wilayah privinsi Banten. Dari 122 ribuan kawasan Ujung Kulon, 32 ribu hektar merupakan habitat tetap badak jawa. Selain menjadi habitat bagi badak jawa, Ujung Kulon merupakan sisa hutan hujan tropis yang masih tersisa di Pulau Jawa.

Ujung Kulon saat ini juga dikenal sebagai situs warisan alam dunia oleh United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Apabila melihat peta, di sebelah barat Ujung Kulon terdapat sebuah pulau yang bernama Pulau Peucang. Pulau tersebut saat ini sedang dikembangkan untuk menarik para wisatawan regional maupun internasional untuk berkunjung ke Ujung Kulon.

Berbatasan langsung dengan Samudera Hindia di sebelah selatan, bukan tak mungkin kawasan tersebut suatu saat nanti dapat menjadi sebuah objek wisata bagi wisatawan yang ingin menikmati keindahan alam habitat alami hewan bercula tersebut.

Dunia internasional memasukkan badak jawa sebagai salah satu spesies yang terancam punah, mengingat saat ini populasi badak jawa di seluruh dunia hanya 60 ekor dan hanya terdapat di Ujung Kulon. Oleh karena itu, saat ini Taman Nasional Ujung Kulon mempunyai misi menjadi breeding stock (sumber makanan) serta tempat tinggal bagi badak jawa.

Sejak tahun 1967, konservasi serta penelitian untuk perlindungan badak jawa telah dilakukan peneliti serta pemerhati lingkungan di kawasan Ujung Kulon. Beberapa hal yang telah dilakukan adalah memasang 120 video trap di setiap pohon di kawasan Ujung Kulon untuk mengamati gerak gerik serta keseharian badak jawa untuk meneliti gaya hidup mereka. Selain itu untuk mengantisipasi berkurangnya habitat saat ini pengelola taman nasional yang dibantu oleh NGO lingkungan seperti World Wide Fund (WWF), juga berencana untuk mencari second habitat bagi satwa ini.

Selasa, 05 Agustus 2014

Mencari Jejak Badak Jawa, Dari Cidaon Hingga Cigenter

Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon di Provinsi Banten merupakan habitat badak jawa yang terancam punah. Hingga saat ini, diyakini sekitar 58 ekor badak menetap di kawasan hutan lindung seluas 122.956 hektar ini, namun penampakan hewan bercula satu itu hingga kini belum dapat disaksikan dengan mata telanjang.

Berbagai cara telah dilakukan oleh para penjaga Taman Nasional Ujung Kulon untuk mencari jejak, mengamati perilaku serta perkembangan satwa tersebut dari waktu ke waktu. Pengamatan ini pun tak hanya dilakukan di satu titik saja, namun di beberapa titik kawasan.

Beberapa diantaranya adalah kawasan Cidaon dan Cigenter yang masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Pencarian jejak pertama kami lakukan bersama World Wide Fund (WWF) ke kawasan Cidaon. Daerah ini terdiri dari sebuah sabana dan kawasan hutan yang sudah memasuki area taman nasional.

Dalam pengamatan di lapangan, rombongan kami menemukan bahwa ada satwa lain yang ikut hidup berdampingan dengan para badak, yaitu banteng, merak, dan beberapa satwa lainnya. Dalam usaha menemukan dan mengidentifikasi jejak badak, tim WWF Ujung Kulon Project yang bekerjasama dengan pengelola Taman Nasional Ujung Kulon tidak menggunakan tenaga manusia, karena badak merupakan hewan pemalu yang sangat sensitif terhadap kehadiran manusia. Namun staf memasang sebuah kamera pengintai bernama video trap.

"Video ini dapat mengamati gerakan badak melalui sensor yang ada di kamera. Ada 120 video trap yang terpasang di kawasan Ujung Kulon," ujar Iwan Dodol, staf WWF Ujung Kulon Project, Jumat (8/5/2014).

Video trap ini, bekerja menggunakan tenaga baterai A4 sebanyak 12 buah dan dapat bertahan di hutan selama satu bulan. Namun untuk pemeliharaan supaya tak mati mendadak, staff mengganti baterai kamera setiap 20 hari sekali.

"Satu kamera harganya Rp 4 hingga Rp 5 juta. Dari pengamatan di video trap, kita dapat merekam pergerakan badak saat mereka makan, istirahat di kubangan ataupun saat mengasuh anak," jelas Iwan.

Beruntung, saat kami menjelajah Cidaon, kami bertemu dengan sebuah jejak badak yang masih utuh. Umur jejak, menurut Iwan baru sekitar 1 hingga 2 minggu, dilihat dari kontur tanah di jejak kaki, rembesan air hingga faktor lainnya.

"Dari jejak kaki ini, kita dapat melihat dari arah mana badak bergerak dan ingin kemana. Dari jejak kaki yang ada, badak ini diketahui merupakan badak remaja dewasa jantan," ungkapnya.

Pemasangan video trap ternyata membuahkan hasil yang cukup memuaskan ketimbang pengawasan manusia. Tahun lalu, video trap menangkap beberapa frame badak jawa yang sedang salt licking (memakan mineral di tanah), istirahat di kubangan serta memandu anaknya.

Jejak kedua, kami temukan di pinggir aliran laut di kawasan Cigenter. Jaraknya sekitar 30 menit dari Cidaon menggunakan kapal. Cigenter sendiri merupakan kawasan berupa sebuah muara laut yang dapat ditempuh menggunakan kano/cano.

Kawasan alami tak berpenghuni ini rupanya pernah dikunjungi badak jawa belum lama ini, entah untuk mencari makanan atau sekedar bath licking.

"Jejak kaki ini berusia sekitar 2 mingguan juga. Dari sini dapat dilihat kalau badak juga mencapai kawasan muara laut dan menjadikan daerah ini sebagai rute badak dalam mencari makanan," terang Iwan yang setia dalam pencarian jejak badak jawa selama belasan tahun ini.

Pencarian jejak badak jawa memang tak mudah. Hewan bercula satu ini dikenal sebagai hewan soliter yang suka hidup di dalam hutan lebat untuk melindungi diri dari predator dan sinar matahari. Mereka lebih suka berendam di kubangan ketimbang di air bersih dan memakan 253 jenis tanaman hutan.

Keputusan Menteri Kehutanan nomor 43 tahun 2007 menargetkan adanya peningkatan 20 persen populasi badak jawa di Ujung Kulon. Untuk tahun 2015, Kemenhut menargetkan penambahan populasi hingga 70-80 ekor.